Dari
57 RSBI se-Jatim, hanya dua yang masuk 10 besar UN SMP, itupun hanya Surabaya.
Kegagalan Rintisan Sekolah Berbasis Internasional (RSBI) mencapai ‘puncak
tertinggi’ dalam hasil Ujian Nasional (UN) kian menguatkan penghapusan RSBI
dari sistem pendidikan nasional. Parahnya lagi, keberadaan RSBI dinilai bukan
jaminan peningkatan mutu peserta didik dan pembentukan karakter
pendidikan.
“RSBI
bukan sesuatu yang ekselen. RSBI tidak efektif. Saya setuju tidak perlu harus
ada RSBI segala. Apalagi, harus ada peringkat untuk mengukur kualitas
pendidikan. Saya sangat tidak setuju dengan RSBI dan peringkat dalam
standarisasi pendidikan,” kritik Dra. Tuti Budi Rahayu, MA, pakar pendidikan
asal Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Senin (4/6) pagi tadi.
Dosen
Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair ini mengatakan,
dalam pembelajaran RSBI belum ada standar kelayakan yang memunculkan inovasi
pendidikan. Menurut Tuti, RSBI hanya mengenalkan sistem pembelajaran inovasi
teknik yang cenderung tidak mengajarkan kebaruan. “Kalau cuma internetan,
moving class, power point dan wifi, sekolah reguler pun bisa. Atau tanpa harus
sekolah di RSBI, semua anak sekolah sudah bisa mengaplikasikan,” katanya.
Tuti
juga mencermati, adanya RSBI akan semakin memperlebar jenjang kesenjangan dalam
pendidikan. Dengan munculnya RSBI akan semakin ‘menjulangkan’ strata dan
memperdalam jurang pemisah antar lembaga sekolah. “Sebenarnya, kalau mau jujur,
RSBI yang ada saat ini belum menjamin kualitas pendidikan yang diharapkan,”
tambah Zainuddin Maliki, Ketua Dewan Pendidikan Jatim dihubungi terpisah.
Menurutnya, evaluasi tersebut over all in general (berlebihan pada umumnya).
Sebab, hingga kini keberadaan RSBI belum memberikan kontribusi massal dalam
kepribadian pelaksanaan pendidikan nasional. “Karena konsep dasar pendirian
RSBI keluar dari jalurnya,” tutur Zainuddin.
“Kalau
hanya dapat juara atau piagam dalam lomba internasional kan sama saja tidak
substantif. Setara dengan internasional itu tidak penting. Karena,
internasional belum tentu memiliki tanggungjawab dan komitmen terhadap
pendidikan di Indonesia,” kritik Zainuddin.
Pernyataan
para pakar tersebut ternyata sepadan dengan kondisi yang saat ini ada di Jatim.
Di Surabaya saja, RSBI masih kalah jauh dengan sekolah reguler lainnya. Fakta
ini terlihat dari hasil UN 2012 SMP/MTs dan SMPT yang baru lalu, sekolah
reguler masih unggul dibanding RSBI. Ironinya, sekolah 'berlevel' internasional
yang belum menjanjikan itu masih saja dipertahankan keberadaannya. Dalih paling
'ampuh' adalah, munculnya persaingan antarsekolah dalam perbaikan kualitas
pendidikan.
Selain
itu, keberadaan RSBI di tengah-tengah sekolah lainnya dianggap sebagai pemerataan
pendidikan. Alasan lainnya, dengan mempertahankan RSBI akan berakibat pada
perkembangan dunia pendidikan secara luas. “Peningkatan pendidikan di Jatim
semakin merata dengan adanya RSBI. Diantara sekolah akan saling berlomba
menjadi yang terbaik,” kata Harun, Kepala Dinas Pendidikan (Kadispendik) Jatim.
Harun
mengatakan, keberhasilan sekolah reguler yang mengungguli RSBI dalam UN SMP
tersebut tidak bisa dijadikan standar ukuran. Menurutnya, hal tersebut tidak
lepas dari jumlah RSBI di tiap kota/kabupaten yang lebih sedikit dibanding
sekolah reguler. "Secara umum, ukuran keberhasilan tersebut menggunakan
nilai rata-rata UN dengan jumlah lulusan yang masuk ke perguruan tinggi,"
tepis mantan Kadisbudpar Jatim ini. Untuk diketahui, dari 57 RSBI di Jawa Timur,
hanya 2 dari tiga RSBI di Surabaya yang mampu berkompetisi dengan sekolah
regular di nilai sepuluh besar Jatim. Keduanya adalah, SMPN 1 Surabaya, SMPN 6
Surabaya dan SMPN 26 Surabaya. Sebut saja, SMPN 26 Surabaya. SMPN ini berhasil
menempatkan siswanya sebagai peraih nilai tertinggi se-Jatim dengan nilai total
39,80.
Siswa
SMPN 26 Surabaya atas nama Audi Wira Pradhana ini mampu mendulang nilai 10,00
untuk UN Bahasa Indonesia. Sedangkan, Bahasa Inggris, Audi mendapat nilai 9,80,
Matematika mengumpulkan nilai 10.00 dan nilai IPA 10.00. Sedangkan, SMPN 1
Surabaya yang sudah berstatus RSBI menempati peringkat delapan se-Jatim.
Sekolah ini mendudukkan Gilda Hartecia dengan nilai Bahasa Indonesia 9,80,
Bahasa Inggris 9,60, Matematika 10,00 dan IPA 10,00. Untuk RSBI lain tidak bisa
bersaing dengan sekolah-sekolah reguler di Jawa Timur. “Tapi, penilaiannya kan
tidak seperti itu ? Dibanding reguler, RSBI memang tidak banyak yang
mendapatkan nilai UN bagus,” ujar Harun.
Sementara,
Kabid Pendidikan Menengah Pertama (PMP) dan Pendidikan Menengah Atas (PMA)
Dispendik Jatim, Bambang Sudarto mengungkapkan, proses belajar-mengajar di
Jatim sudah mengalami peningkatan. Hal ini diketahui dari hasil UN baik SMP
maupun SMA. "Meski tidak semuanya, minimal peningkatan itu terlihat dari
ikut sertanya RSBI dalam ranking siswa terbaik," ingatnya.
Terpisah,
Kadispendik Surabaya, Ikhsan mengaku, pihaknya menghormati hasil prestasi yang
dicapai sekolah dan siswa Surabaya. Alasannya, persaingan ketat dalam UN kali
ini, RSBI di Surabaya mampu 'meladeni' sekolah reguler dengan nilai terbaik
dalam UN. “Coba dicermati. RSBI di Surabaya masuk sepuluh besar,” kelit Ikhsan.
Meski demikian, ia juga mengakui, belum begitu puas dengan fakta pendidikan di
Surabaya. Namun, ia mengatakan, sebenarnya pendidikan di Surabaya mengalami
peningkatan dibanding tahun lalu. "Saya kan baru tiga bulan menjabat.
Tapi, saya yakin, tahun depan akan lebih baik," katanya. Dikatakan, saat
ini dirinya mulai mengevaluasi dengan pemetaan potensi masing-masing sekolah.
"Agar kami bisa gali lebih dalam, apa sebenarnya keahlian yang bisa
diunggulkan ditiap sekolah dan siswanya, termasuk RSBI," harap
Ikhsan.
Sumber
: SurabayaPost Online
0 komentar:
Posting Komentar